Senin, 26 Mei 2014

Wanita Gaul vs Lelaki Sholeh



Bismillahirrohmaanirrohiim,
Assalammualaikum Wr.Wb, hari ini mimin mau posting blog dengan tema "Wanita gaul vs Lelaki sholeh" , nah sobat TCMers, silahkan di baca dan jangan lupa di share(tambahkan link website mimin) ... :D

Dialog Wanita Gaul dengan Pemuda Soleh...
Seorang wanita gaul bertanya pada seorang pemuda yang soleh:
Wanita: "Kenapa sih kamu nggak mau bersentuhan tangan denganku? Emangnya aku ini hina ya?"
Pemuda: "Bukan begitu Mba, Justru saya lakukan itu karena saya sangat menghargai Mba sebagai seorang wanita"
Wanita: "Maksudmu?"
Pemuda: "Coba saya tanya sama Mba, apakah boleh seorang rakyat jelata menyentuh tangan putri keraton yang dimuliakan?"
Wanita: (Sambil mengernyitkan dahi) "T..Tentu gak boleh sembarangan dong!"
Pemuda: "Nah, Islam mengajarkan bagaimana kami menghormati semua wanita layaknya ratu yang ceritakan tadi. Hanya pangeran saja yang layak menyentuh tuan putri".
Wanita: (Sambil agak malu) "Oh.. Terus kenapa sih mesti pakai menutup tubuh segala, pake kerudung lagi, jadi gak keliatan seksinya"
Pemuda : (Membuka sebuah rambutan, lalu memakannya sebagian. Dan mengambil sebuah lagi sambil menyodorkan 2 buah rambutan itu pada wanita tersebut) "Kalau Mba harus memilih, pilih rambutan yang sudah saya makan atau yang masih belum terbuka"
Wanita: (Sambil keheranan dan sedikit merasa jijik) "Hi.. Ya saya pilih yang masih utuh lah, mana mau saya makan bekas Mas".
Pemuda : (Sambil tersenyum) "Tepat sekali, semua orang pasti memilih yang utuh, bersih, terjaga begitu juga dengan wanita. Islam mensyariatkan wanita untuk berhijab dan menutup aurat semata-mata untuk kemuliaan wanita juga".
Wanita: "Terimakasih ya, aku semakin yakin untuk berhijab dan menutup aurat, Islam memang sangat memuliakan wanita.
Subhanallah. Ngomong-ngomong Mas sudah punya pacar belum?"
Pemuda: "Mmm.. Saya belum punya dan bertekad tidak akan punya pacar."
Wanita : (Kebingungan) "Loh, kenapa? Bukannya semua muda-mudi sekarang punya temen istimewa"
Pemuda: "Begini Mba, kira-kira kalau Mba diberi hadiah handphone, ingin yang bekas atau yang masih baru??"
Wanita: "Ya jelas yang baru lah"
Pemuda: "Kalau suatu saat Mba menikah, mau pakai baju loakan yang harganya Rp.50.000/3 potong atau gaun istimewa yang harganya Rp.20 juta keatas"
Wanita: "Ih.. Mas ini. Ya pasti saya pilih gaun istimewa, mana mau saya pakai baju loakan, udah bekas dipegang orang, gak steril lagi. hi..."
Pemuda: "Nah, begitu juga Islam memandang pacaran Mba. Kami, diajarkan untuk menjunjung ikatan suci bernama pernikahan. menjadi pasangan yang saling mencintai karenaNya. Yang menjaga kesucian dan kehormatan dirinya sebelum akad suci itu terucap. Karena kami hanya ingin mempersembahkanyang terbaik untuk pasangan kami kelak"
Wanita: (Hatinya berdebar-debar tak menentu, kata-kata pemuda tadi menjadi embun bagi hatinya yang selama ini hampa. Matanya pun menetes) "Mas, aku semakin merasa banyak dosa. Masihkah ada pintu taubat untukku dengan semua yang sudah aku lakukan?"
Pemuda: (Matanya berbinar, perkataannya berat) "Mba, jikalah diibaratkan seorang musafir kehilangan unta beserta makanan dan minumannya di gurun pasir yang tandus. Maka kebahagiaan Allah menerima taubat hambanya lebih besar dari kebahagiaan musafir yang menemukan untanya kembali. Kalaulah kita datang dengan membawa dosa seluas langit, Allah akan mendatangi kita dengan ampunan sebesar itu juga. Subhanallah".
Wanita: (Berderai air matanya, segera ia usap dengan tisunya) "Terimakasih Mas, saya banyak mendapatkan pencerahan hidup. Semoga saya bisa berubah lebih baik”
Pemuda: “Aamiin”
semoga mencerahkan hidup kita semua

Wassalammualaikum Wr.Wb
Read More

Sabtu, 24 Mei 2014

keterhijaban dan baik sangka (bagian 2)



     Di masa Abbasyiah akhir , negeri-negeri Muslim tersekat oleh berbagai kesultanan yang berkuasa sendiri-sendiri . Yang duduk bertkahta di Baghdad dan mereka sebut “Amirul Mukminin” memang masih ada. Tetapi dia tidak lebih dari pemuda manja yang diperlakukan nagai boneka oleh para sultan yang berebut pengaruh.
          Kisah ini adalah sebuah sejarah kecil di era itu, seperti istilah tiga zaman, Rosihan Anwar. Ini kisah tentang seorang ayah dan anak. Sang ayah bekas budak. Selama menjadi budak, libur jumat sebagaimana ditetapkan kesultanan dimanfaatkannya untuk habis-habisan bekerja. Dengan dirham demi dirham yang terkumpul ,satu hari dia minta izin untuk menebus dirinya pada sang majikan.
          “Tuan,ujarnya,”Apakah dengan membayar harga senilai dengan berapa engkau membeliku dulu, aku akan bebas?”
          “Hm...Ya.Bisa.”
          “Baik, ini dia,” katanya sambil meletakkan bungkusan uang itu dihadapan tuannya.”Allah ‘Azza Wa Jalla telah membeliku dari Anda, lalu Dia membebaskanku. Alhamdulillah.”
          “Maka engkau bebas karena Allah,”ujar sang tuan tertakjub. Dia bangkit dari duduknya dan memeluk sang budak. Dia hanya mengambil separuh harga yang tadi desebutkan. Separuh lagi diserahkannya kembali.”Gunakanlah ini,”katanya berpesan,”Untuk memulai kehidupan barumu sebagai orang yang merdeka. Aku berbahagia menjadi sebagian Tangan Allah yang membebaskanmu!”
          Penuh syukur dan haru,  tapi juga disergap khawatir, dia pamit.”Aku tidak tahu wahai Tuanku yang baik,”ucapnya dengan mata berkaca-kaca,”Apakah kebebasan ini rahmat ataukah musibah. Aku hanya berbaik sangka kepada Allah.
*                 *                 *                 *

Tahun demi tahun berlalu. Dia telah menikah . Tetapi sang istri meninggal ketika menyelesaikan tugasnya, menyempurnakan susuan sang putra hingga usia dua tahun. Maka dibesarkannya putera semata wayangnya itu dengan penuh kasih. Dididiknya anak lelaki itu untuk memahami agama dan menjalankan sunnah Nabi, juga untuk bersikap ksatria dan berjiwa merdeka.
“Anakku,” katanya di suatu pagi, ”Ayahmu ini dulu seorang budak. Ayahmu ini separuh manusia di mata agama dan sesama. Tapi selalu kujaga kehormatan dan kesucianku, maka Allah memuliakanku dengan membebaskanku. Dan jadilah kita orang merdeka. Ketauhilah Nak, orang bebas yang paling merdekalah dia yang bisa memilih caranya untuk mati dan menghadap Ilahi!”
“Ketauhilah.”lanjutnya,”Seorang yang syahid di jalan Allah itu hakikatnya tak pernah mati. Saat terbunuh ,dia akan disambut oleh tujuh puluh bidadari. Ruhnya menanti kiamat dengan terbang ke sana kemari  dalam tubuh burung hijau di taman surga, dan diizinkan baginya memberi syafaat bagi keluarganya. Mari kita rebut kehormatan itu ,Nak, dengan berjihad lalu syahid di jalanNya!”
Sang anak mengangguk-angguk.
Sang ayah mengeluarkan sebuah kantung berpelisir emas. Dinar-dinar didalamnya bergemerincing.”Mari mempersiapkan diri”,bisiknya.”Mari kita beli yang terbagus dengan harta ini untuk dipersembahkan dalam jihad dijalanNya. Mari kita belanjakan uang ini untuk mengantar kita pada kesyahidan dengan sebaik-baik tunggangan.”
Siangnya, mereka pulang dari pasar dengan menuntun seokor kuda perang berwarna hitam. Kuda itu gagah. Surainya mekar mejumbai. Tampangnya mengagumkan. Matanya berkilat. Giginya rapi dan tajam. Kakinya kekar dan kukuh. Ringkiknya pasti membuat kuda musuh bergidik.
Semua tetangga datang unutk mengaguminya. Mereka menyentuhnya, mengelus surainya. ”Kuda yang hebat!”kata mereka. ”Kami belum pernah melihat kuda seindah inji. Luar biasa! Mantap sekali! Berapa yang kalian habiskan unutk membeli kuda ini?”
Anak beranak itu tersenyum simpul. Yah , itu simpanan yang kami kumpulkan seumur hidup.
Para tetannga ternganga mendengar jumlahnya. ”Wah”,seru mereka,”kalian waras atau sudah gila? Uang sebanyak itu dihabiskan untuk membeli kuda? Padahal rumah kalian reyot nyaris roboh. Untuk makan besok pun belum tentu ada!”Kekaguman di awal tadi menjadi cemooh.”Tolol!”kata salah satu. “Tak tahu diri!” ujarnya yang lain.”Pandir!”
“Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah . Tapi kami selalu berbaik sangka kepada Allah,”ujar mereka.
Para tetangga pulang. Ayah dan anak itu pun merawat kuda nya dengan penuh cinta. Makanan si kuda dijamin kelengkapannya, rumput segar, jerami kering, biji-bijian, dedak, air segar, kadang bahkan ditambah madu. Si kuda dilatih keras, tapi tak dibiarkan lelah tanpa mendapat hadiah. Kini mereka tak hanya  berdua, melainkan bertiga. Bersama-sama menanti panggilan Allah ke medan jihad untuk menjemput takdir terindah.
Sepekan berlalu. Di sebuah pagi buta ketika si ayah melongok ke kandang, dia tak melihat apapun. Kosong. Palang pintunya patah. Beberapa jaruji kayu terkoyak remuk.
Kuda itu hilang!
Berduyun-duyun para tetangga datang untuk mengucapkan bela sungkawa. Mereka bersimpati pada cita tinggi kedua anak ayah itu. Tapi mereka juga menganggap keduanya kelewatan.”Ah sayang sekali!”kata mereka,”Padahal itu kuda terindah yang pernah kami lihat. Kalian memang tidak beruntung. Kuda itu hanya hadir sejenak untuk memuaskan ambisi kalian, lalu Allah membebaskannya dan mengandaskan cita-cita kalian!”
Sang ayah tersenyum sambil mengelus kepala anaknya.”Kami tak tahu,”ucapnya serempak berdua,”Ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Mereka pasrah. Mereka mencoba untuk menghitung-hitung uang dan mengira-ngira, kapan bisa membeli kuda lagi. ”Nak,”sang ayah menatap mata putranya,”Dengan atau tanpa kuda, jika panggilan Allah datang, kita harus menyambutnya. ” Si anak mengangguk mantap. Mereka kembali bekerja tekun seakan tak terjadi apapun.
Tiga hari kemudian, saat subuh menjelang, kandang kuda mereka gaduh dan riuh. Suara ringkikan bersahut-sahutan. Terkejut dan jaga, ayah dan anak itu berlari ke kandang sambil membenahi pakaianyya. Di kandang itu mereka temukan kuda hitam yang gagah bersurai indah. Tak salah lagi, itu kuda mereka yang pergi tanpa pamit tiga hari lalu!
Tapi kuda itu tak sendiri lagi. Ada belasan kuda lain bersamanya. Kuda-kuda liar! Itu pasti kawan-kawannya. Mereka datang dari stepa luas untuk bergabung di kandang si hitam. Mungkinkah si hitam yang merasa mendapatkan layanan terbaik di kandang seorang bekas budak mengajak kawan-kawannya bergabung? Atau tahukah mereka bahwa mendatangi kandang itu berarti siap bertaruh nyawa untuk kemuliaan agama Allah, kelas jika panggilanNya berkumandang? Atau memang itu yang mereka inginkan?
Bertasbih kepada Allah, segala yang di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(Q.s.Ash Shaff[61]:1).
Ketika hari terang, para tetangga datang dengan takjub. ”Luar biasa!” kata mereka.”Kuda itu pergi untuk memanggil kawan-kawannya dan kini kembali membawa mereka menggabungkan diri! ”Mereka semua mengucapkan selamat pada pemiliknya. ”Wah kalian sekarang kaya raya! Kalian orang terkaya di kampung ini!” Tapi si pemilik kembali hanya tersenyum. ”Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Hari berikutnya dengan bahagia, sang putra mencoba menaiki salah seekor kuda itu. Suka cita dia memacunya ke segala penjuru. Satu saat, kuda liar itu terkejut ketika berpapasan dengan seekor lembu yang lepas dari kandang di persimpangan. Dia meronta keras, dan sang penunggang terbanting. Kakinya patah. Dia meringis kesakitan.
Para tetangga datang menjenguk. Mereka menatap anak itu dengan pandangan penuh iba.”Kami turut prihatin,”kata mereka.” Ternyata kuda itu tidak membawa berkah. Mereka datang membawa musibah. Alangkah lebih baik beruntung yang tak memiliki kuda, namun anaknya sehat sentausa!”
Tuan rumahnya tersenyum lagi. “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berbaik sangka kepada Allah.”
Hari berikutnya, hulubalang raja berkeliling negeri. Dia mengumumkan pengerahan pasukan untuk menghadapi tentara musuh yang telah menyerang perbatasan. Semua pemuda yang sehat jasmani dan rohani wajib bergabung untuk mempertahankan negeri. Sayang, perang ini sulit dikatakan sebagai jihad di jalan Allah karena musuh yang hendak dihadapi adalah sesama Muslim. Meraka hanya berbeda kesultanan.
“Nak,” bisik sang ayah ke telinga sang putera yang terbaring tak berdaya, “Semoga Allah menjaga kita dari menumpahkan darah sesama muslim. Allah Maha Tahu, kita ingin berjihad di jalanNya. Kita sama sekali tak hendak beradu senjata dengan orang-orang beriman. Semoga Allah membebaskan diri kita dari beban itu!” Mereka berpelukan.
Petugas pendaftaran mendatangi tiap rumah dan membawa para pemuda yang memenuhi syarat. Saat memasuki rumah ayah dan anak pemilik kuda, mereka mendapati putranya terbaring di tempat tidur  dengan kaki terdebat, disangga kayu dan dibalut kain.
“Ada apa dengannya?”
“Tuan prajurit,”kata sang ayah,”Anak saya ini begitu ingin membela negeri dan dia telah berlatih untuk itu. Tetapi kemarin dia jatuh dari kuda ketika sedang mencoba menjinakkan kuda liar kami. Kakinya patah.”
“Ah,sayang sekali! Kata Sang Hulubalang,”Padahal kulihat dia begitu gagah. Dia pasti akan menjadi seorang prajurit tangguh. Tapi baiklah. Dia tak memenuhi syarat. Maafkan aku, aku tak bisa mengikutsertakannya!”
Dan hari iitu, para terangga yang ditinggal pergi putra-putranya menjadi prajurit mendatangi si pemilik kuda.”Ah,nasib!” kata mereka. “Kami kehilangan anak-anak lelaki kami, tumpuan harapan keluarga. Kami melepas mereka tanpa tahu apakah mereka akan kembali atau tidak. Sementara putramu tetap bisa di rumah karena patah kakinya. Kalian begitu beruntung! Allah menyayangi kalian!”
Tuan rumah ikut bersedih melihat mendung di wajah-wajah itu. Kali ini bapak dan anak itu tak tersenyum. Tapi ucapan mereka kembali bergema,”Kami tak hau,in rahmat atau musibah. Kami hanya berbaik sangka kepada Allah.”
Sebulan kemudian, kota itu dipenuhi ratapan para ibu dan isak tangis para istri. Sementara para lelaki hanya termanggu dan tergugu. Kabarnya telah jelas. Semua pemuda yang diberangkatkan perang tewas di medan tempur. Tapi agaknya para warga belajar banyak dari ayah beranak pemilik kuda. Seluruh penduduk kota ini menggumamkan kalimat indah itu. “Kami tak tahu ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Singkat kisah, tak beberapa lama kemudian panggilan jihad yang sebenarnya bergema. Pasukan Mongol dipimpin Hulagu Khan menyerbu wilayah Islam dan membumihanguskannya hingga rata dengan tanah. Orang-orang tak berperikemanusiaan itu mengalir bagai air bah meluluhlantakkan peradaban. Ayah dan anak itu pun menyongsong  janjinya. Mereka bergegas menyambut panggilan dengan kalimat agungnya,”Kami tak tahu apakah ini rahmat ataukah musibah. Kami hanya berbaik sangka kepada Allah!”
Mereka memang memenuhi syahid. Tapi sebelum itu, ada selaksa nikmat yang Allah karuniakan kepada mereka untuk dirasai. Sang anak pernah tertangkap pasukan Mongol dan dijual sebagai budak. Dia berpindah-pindah tangan hingga kepemilikkannya jatuh pada Al-Kamil, seorang Sultan Ayyubiyah di Kairo. Ketika pemerintahan Mamluk menggantikan wangsa Ayubiyah di Mesir, kariernya menanjak cepat dari komandan kecil menjadi panglima pasukan, lalu Amir wilayah. Terakhir, setelah wafatnya Az-Zahir Rukhnuddin Baibars, dia diangkat menjadi Sultan. Namanya Al-Manshur Saifuddin Qalawun.
Inilah sekelumit kisah tentangnya. Qalawun yang berani berprasangka baik dalam segala keterhijaban. Qalawun yang berani berkata, “Kami tak tahu ini rahmat atau musibah. Tapi kami selalu berprasangka baik kepada Allah!” Seperti kisahnya, dalam dekapan ukhuwah, ada berjuta kebaikan mengiringi prasangka baik kita padaNya. Dia setia bersama kita dan melimpahkan kebaikan, karena kita mengingatNya juga dengan sangkaan kebaikan.
Read More