Di masa Abbasyiah akhir , negeri-negeri Muslim
tersekat oleh berbagai kesultanan yang berkuasa sendiri-sendiri . Yang duduk
bertkahta di Baghdad dan mereka sebut “Amirul Mukminin” memang masih ada.
Tetapi dia tidak lebih dari pemuda manja yang diperlakukan nagai boneka oleh
para sultan yang berebut pengaruh.
Kisah ini adalah sebuah sejarah kecil di era itu, seperti
istilah tiga zaman, Rosihan Anwar. Ini kisah tentang seorang ayah dan anak.
Sang ayah bekas budak. Selama menjadi budak, libur jumat sebagaimana ditetapkan
kesultanan dimanfaatkannya untuk habis-habisan bekerja. Dengan dirham demi
dirham yang terkumpul ,satu hari dia minta izin untuk menebus dirinya pada sang
majikan.
“Tuan,ujarnya,”Apakah dengan membayar harga senilai dengan
berapa engkau membeliku dulu, aku akan bebas?”
“Hm...Ya.Bisa.”
“Baik, ini dia,” katanya sambil meletakkan bungkusan uang
itu dihadapan tuannya.”Allah ‘Azza Wa Jalla
telah membeliku dari Anda, lalu Dia membebaskanku. Alhamdulillah.”
“Maka engkau bebas karena Allah,”ujar sang tuan tertakjub. Dia
bangkit dari duduknya dan memeluk sang budak. Dia hanya mengambil separuh harga
yang tadi desebutkan. Separuh lagi diserahkannya kembali.”Gunakanlah
ini,”katanya berpesan,”Untuk memulai kehidupan barumu sebagai orang yang
merdeka. Aku berbahagia menjadi sebagian Tangan Allah yang membebaskanmu!”
Penuh syukur dan haru,
tapi juga disergap khawatir, dia pamit.”Aku tidak tahu wahai Tuanku yang
baik,”ucapnya dengan mata berkaca-kaca,”Apakah kebebasan ini rahmat ataukah
musibah. Aku hanya berbaik sangka kepada Allah.
* * * *
Tahun
demi tahun berlalu. Dia telah menikah . Tetapi sang istri meninggal ketika
menyelesaikan tugasnya, menyempurnakan susuan sang putra hingga usia dua tahun.
Maka dibesarkannya putera semata wayangnya itu dengan penuh kasih. Dididiknya
anak lelaki itu untuk memahami agama dan menjalankan sunnah Nabi, juga untuk
bersikap ksatria dan berjiwa merdeka.
“Anakku,”
katanya di suatu pagi, ”Ayahmu ini dulu seorang budak. Ayahmu ini separuh
manusia di mata agama dan sesama. Tapi selalu kujaga kehormatan dan kesucianku,
maka Allah memuliakanku dengan membebaskanku. Dan jadilah kita orang merdeka.
Ketauhilah Nak, orang bebas yang paling merdekalah dia yang bisa memilih
caranya untuk mati dan menghadap Ilahi!”
“Ketauhilah.”lanjutnya,”Seorang
yang syahid di jalan Allah itu hakikatnya tak pernah mati. Saat terbunuh ,dia
akan disambut oleh tujuh puluh bidadari. Ruhnya menanti kiamat dengan terbang
ke sana kemari dalam tubuh burung hijau
di taman surga, dan diizinkan baginya memberi syafaat bagi keluarganya. Mari
kita rebut kehormatan itu ,Nak, dengan berjihad lalu syahid di jalanNya!”
Sang
anak mengangguk-angguk.
Sang
ayah mengeluarkan sebuah kantung berpelisir emas. Dinar-dinar didalamnya
bergemerincing.”Mari mempersiapkan diri”,bisiknya.”Mari kita beli yang terbagus
dengan harta ini untuk dipersembahkan dalam jihad dijalanNya. Mari kita
belanjakan uang ini untuk mengantar kita pada kesyahidan dengan sebaik-baik
tunggangan.”
Siangnya,
mereka pulang dari pasar dengan menuntun seokor kuda perang berwarna hitam. Kuda
itu gagah. Surainya mekar mejumbai. Tampangnya mengagumkan. Matanya berkilat.
Giginya rapi dan tajam. Kakinya kekar dan kukuh. Ringkiknya pasti membuat kuda
musuh bergidik.
Semua
tetangga datang unutk mengaguminya. Mereka menyentuhnya, mengelus surainya. ”Kuda
yang hebat!”kata mereka. ”Kami belum pernah melihat kuda seindah inji. Luar
biasa! Mantap sekali! Berapa yang kalian habiskan unutk membeli kuda ini?”
Anak
beranak itu tersenyum simpul. Yah , itu simpanan yang kami kumpulkan seumur
hidup.
Para
tetannga ternganga mendengar jumlahnya. ”Wah”,seru mereka,”kalian waras atau
sudah gila? Uang sebanyak itu dihabiskan untuk membeli kuda? Padahal rumah
kalian reyot nyaris roboh. Untuk makan besok pun belum tentu ada!”Kekaguman di
awal tadi menjadi cemooh.”Tolol!”kata salah satu. “Tak tahu diri!” ujarnya yang
lain.”Pandir!”
“Kami
tak tahu, ini rahmat atau musibah . Tapi kami selalu berbaik sangka kepada
Allah,”ujar mereka.
Para
tetangga pulang. Ayah dan anak itu pun merawat kuda nya dengan penuh cinta.
Makanan si kuda dijamin kelengkapannya, rumput segar, jerami kering,
biji-bijian, dedak, air segar, kadang bahkan ditambah madu. Si kuda dilatih
keras, tapi tak dibiarkan lelah tanpa mendapat hadiah. Kini mereka tak
hanya berdua, melainkan bertiga.
Bersama-sama menanti panggilan Allah ke medan jihad untuk menjemput takdir
terindah.
Sepekan
berlalu. Di sebuah pagi buta ketika si ayah melongok ke kandang, dia tak
melihat apapun. Kosong. Palang pintunya patah. Beberapa jaruji kayu terkoyak
remuk.
Kuda
itu hilang!
Berduyun-duyun
para tetangga datang untuk mengucapkan bela sungkawa. Mereka bersimpati pada
cita tinggi kedua anak ayah itu. Tapi mereka juga menganggap keduanya
kelewatan.”Ah sayang sekali!”kata mereka,”Padahal itu kuda terindah yang pernah
kami lihat. Kalian memang tidak beruntung. Kuda itu hanya hadir sejenak untuk
memuaskan ambisi kalian, lalu Allah membebaskannya dan mengandaskan cita-cita
kalian!”
Sang
ayah tersenyum sambil mengelus kepala anaknya.”Kami tak tahu,”ucapnya serempak
berdua,”Ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Mereka
pasrah. Mereka mencoba untuk menghitung-hitung uang dan mengira-ngira, kapan
bisa membeli kuda lagi. ”Nak,”sang ayah menatap mata putranya,”Dengan atau
tanpa kuda, jika panggilan Allah datang, kita harus menyambutnya. ” Si anak
mengangguk mantap. Mereka kembali bekerja tekun seakan tak terjadi apapun.
Tiga
hari kemudian, saat subuh menjelang, kandang kuda mereka gaduh dan riuh. Suara
ringkikan bersahut-sahutan. Terkejut dan jaga, ayah dan anak itu berlari ke
kandang sambil membenahi pakaianyya. Di kandang itu mereka temukan kuda hitam
yang gagah bersurai indah. Tak salah lagi, itu kuda mereka yang pergi tanpa
pamit tiga hari lalu!
Tapi
kuda itu tak sendiri lagi. Ada belasan kuda lain bersamanya. Kuda-kuda liar!
Itu pasti kawan-kawannya. Mereka datang dari stepa luas untuk bergabung di
kandang si hitam. Mungkinkah si hitam yang merasa mendapatkan layanan terbaik
di kandang seorang bekas budak mengajak kawan-kawannya bergabung? Atau tahukah
mereka bahwa mendatangi kandang itu berarti siap bertaruh nyawa untuk kemuliaan
agama Allah, kelas jika panggilanNya berkumandang? Atau memang itu yang mereka
inginkan?
“Bertasbih kepada Allah, segala yang di
langit dan di bumi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(Q.s.Ash Shaff[61]:1).
Ketika
hari terang, para tetangga datang dengan takjub. ”Luar biasa!” kata mereka.”Kuda
itu pergi untuk memanggil kawan-kawannya dan kini kembali membawa mereka
menggabungkan diri! ”Mereka semua mengucapkan selamat pada pemiliknya. ”Wah
kalian sekarang kaya raya! Kalian orang terkaya di kampung ini!” Tapi si
pemilik kembali hanya tersenyum. ”Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami
hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Hari
berikutnya dengan bahagia, sang putra mencoba menaiki salah seekor kuda itu.
Suka cita dia memacunya ke segala penjuru. Satu saat, kuda liar itu terkejut ketika
berpapasan dengan seekor lembu yang lepas dari kandang di persimpangan. Dia
meronta keras, dan sang penunggang terbanting. Kakinya patah. Dia meringis
kesakitan.
Para
tetangga datang menjenguk. Mereka menatap anak itu dengan pandangan penuh
iba.”Kami turut prihatin,”kata mereka.” Ternyata kuda itu tidak membawa berkah.
Mereka datang membawa musibah. Alangkah lebih baik beruntung yang tak memiliki
kuda, namun anaknya sehat sentausa!”
Tuan
rumahnya tersenyum lagi. “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya
berbaik sangka kepada Allah.”
Hari
berikutnya, hulubalang raja berkeliling negeri. Dia mengumumkan pengerahan
pasukan untuk menghadapi tentara musuh yang telah menyerang perbatasan. Semua
pemuda yang sehat jasmani dan rohani wajib bergabung untuk mempertahankan
negeri. Sayang, perang ini sulit dikatakan sebagai jihad di jalan Allah karena
musuh yang hendak dihadapi adalah sesama Muslim. Meraka hanya berbeda
kesultanan.
“Nak,”
bisik sang ayah ke telinga sang putera yang terbaring tak berdaya, “Semoga
Allah menjaga kita dari menumpahkan darah sesama muslim. Allah Maha Tahu, kita
ingin berjihad di jalanNya. Kita sama sekali tak hendak beradu senjata dengan
orang-orang beriman. Semoga Allah membebaskan diri kita dari beban itu!” Mereka
berpelukan.
Petugas
pendaftaran mendatangi tiap rumah dan membawa para pemuda yang memenuhi syarat.
Saat memasuki rumah ayah dan anak pemilik kuda, mereka mendapati putranya
terbaring di tempat tidur dengan kaki
terdebat, disangga kayu dan dibalut kain.
“Ada
apa dengannya?”
“Tuan
prajurit,”kata sang ayah,”Anak saya ini begitu ingin membela negeri dan dia
telah berlatih untuk itu. Tetapi kemarin dia jatuh dari kuda ketika sedang
mencoba menjinakkan kuda liar kami. Kakinya patah.”
“Ah,sayang
sekali! Kata Sang Hulubalang,”Padahal kulihat dia begitu gagah. Dia pasti akan
menjadi seorang prajurit tangguh. Tapi baiklah. Dia tak memenuhi syarat.
Maafkan aku, aku tak bisa mengikutsertakannya!”
Dan
hari iitu, para terangga yang ditinggal pergi putra-putranya menjadi prajurit
mendatangi si pemilik kuda.”Ah,nasib!” kata mereka. “Kami kehilangan anak-anak
lelaki kami, tumpuan harapan keluarga. Kami melepas mereka tanpa tahu apakah
mereka akan kembali atau tidak. Sementara putramu tetap bisa di rumah karena
patah kakinya. Kalian begitu beruntung! Allah menyayangi kalian!”
Tuan
rumah ikut bersedih melihat mendung di wajah-wajah itu. Kali ini bapak dan anak
itu tak tersenyum. Tapi ucapan mereka kembali bergema,”Kami tak hau,in rahmat
atau musibah. Kami hanya berbaik sangka kepada Allah.”
Sebulan
kemudian, kota itu dipenuhi ratapan para ibu dan isak tangis para istri.
Sementara para lelaki hanya termanggu dan tergugu. Kabarnya telah jelas. Semua
pemuda yang diberangkatkan perang tewas di medan tempur. Tapi agaknya para
warga belajar banyak dari ayah beranak pemilik kuda. Seluruh penduduk kota ini
menggumamkan kalimat indah itu. “Kami tak tahu ini rahmat atau musibah. Kami
hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Singkat
kisah, tak beberapa lama kemudian panggilan jihad yang sebenarnya bergema.
Pasukan Mongol dipimpin Hulagu Khan menyerbu wilayah Islam dan
membumihanguskannya hingga rata dengan tanah. Orang-orang tak
berperikemanusiaan itu mengalir bagai air bah meluluhlantakkan peradaban. Ayah
dan anak itu pun menyongsong janjinya.
Mereka bergegas menyambut panggilan dengan kalimat agungnya,”Kami tak tahu
apakah ini rahmat ataukah musibah. Kami hanya berbaik sangka kepada Allah!”
Mereka
memang memenuhi syahid. Tapi sebelum itu, ada selaksa nikmat yang Allah karuniakan
kepada mereka untuk dirasai. Sang anak pernah tertangkap pasukan Mongol dan
dijual sebagai budak. Dia berpindah-pindah tangan hingga kepemilikkannya jatuh
pada Al-Kamil, seorang Sultan Ayyubiyah di Kairo. Ketika pemerintahan Mamluk
menggantikan wangsa Ayubiyah di Mesir, kariernya menanjak cepat dari komandan
kecil menjadi panglima pasukan, lalu Amir wilayah. Terakhir, setelah wafatnya
Az-Zahir Rukhnuddin Baibars, dia diangkat menjadi Sultan. Namanya Al-Manshur
Saifuddin Qalawun.
Inilah
sekelumit kisah tentangnya. Qalawun yang berani berprasangka baik dalam segala
keterhijaban. Qalawun yang berani berkata, “Kami tak tahu ini rahmat atau
musibah. Tapi kami selalu berprasangka baik kepada Allah!” Seperti kisahnya,
dalam dekapan ukhuwah, ada berjuta kebaikan mengiringi prasangka baik kita
padaNya. Dia setia bersama kita dan melimpahkan kebaikan, karena kita
mengingatNya juga dengan sangkaan kebaikan.